Posisi Indonesia dalam mata rantai industri perdagangan Crude Palm Oil (CPO) global sudah tidak diragukan, hal ini dapat terlihat bahwa sejak tahun 1980, produksi minyak sawit global didominasi oleh dua negara produsen utama yaitu Indonesia (sekitar 50%) dan Malaysia (sekitar 35%), yang secara kolektif menyumbang sekitar 85% dari total pasokan minyak sawit di pasar global.
Sebagai produsen terbesar pertama dengan total produksi mencapai sekitar 50 persen, maka seharusnya wajar apabila Indonesia memiliki “kekuatan lebih” dalam menentukan arah pergerakan komoditi CPO ini di pasar global. Namun, kelebihan ini justru tidak dirasakan oleh Indonesia, alih-alih menentukan harga CPO, justru penentuan harga CPO Indonesia khususnya untuk pasar ekspor hingga saat ini masih mengacu ke harga CPO yang terbentuk di luar Indonesia, yaitu Bursa Malaysia Derivatives Berhad (BMD).
Malaysia memilih untuk membangun infrastruktur pasar CPO-nya dengan melibatkan peran Bursa Komoditi yaitu Bursa Malaysia Derivatives Berhad (BMD). CPO Malaysia mulai ditransaksikan di BMD sejak Oktober 1980, kemudian secara perlahan transaksinya mulai diakui baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga harga yang terbentuk pun diterima dan dijadikan sebagai acuan harga baik bagi pelaku CPO untuk tujuan domestik maupun di luar Malaysia.
Meskipun tidak terlibat langsung dalam mata rantai produksi, namun harus diakui bahwa yang menjadikan pasar CPO Malaysia menjadi berkembang pesat hingga seperti sekarang adalah berkat peran serta BMD selaku Bursa Komoditi.
Berikut merupakan beberapa alasan penting yang membedakan pasar CPO Malaysia sebelum dan setelah adanya BMD, antara lain:
Pemerintah Indonesia telah bercita-cita sejak lama untuk menciptakan kedaulatan CPO yang seharusnya berada di genggaman Indonesia. Hal ini terlihat dari langkah pemerintah yang berniat melaksanakan perdagangan CPO melalui peran Bursa Berjangka, sama halnya dengan skema yang dijalankan oleh BMD.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) selaku regulator yang mengatur dan mengawasi Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) di Indonesia, pada Mei 2010, memberikan izin pada ICDX untuk meluncurkan kontrak berjangka CPO yang diperuntukkan sebagai sarana lindung nilai (hedging) bagi pelaku pasar CPO Indonesia. ICDX berhasil menjalankan amanat tersebut karena sejak 1 Juli 2013, harga transaksi CPO yang terbentuk di Bursa ICDX telah dimasukkan dalam formula penetapan Harga Patokan Ekspor (HPE) dengan pembobotan sebesar 60% di samping BMD (20%) dan Rotterdam (20%).
Namun, Pemerintah Indonesia masih tetap berupaya untuk mewujudkan kedaulatan CPO Indonesia sepenuhnya dengan menjadikan harga CPO Indonesia sebagai referensi harga CPO di pasar global. Untuk mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan diminta agar dapat membentuk Bursa CPO Indonesia, yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan tata niaga perdagangan fisik CPO di Indonesia.